Bagian pertama tulisan ini telah menyajikan konsep dasar teknologi refrigerasi dan tiga permasalahan yang memberikan arah perkembangan dunia refrigerasi modern, yakni krisis energi, lubang ozon, dan pemanasan global. Bagian kedua ini memberikan ulasan perkembangan sistem pengkondisian udara untuk menjawab tantangan di atas.
Beberapa perbaikan sistem refrigerasi guna penghematan energi adalah sebagai berikut:
A. Pengkondisian udara sistem variable air volume (VAV)
Sistem ini merupakan perbaikan dari constant air volume (CAV) yang banyak digunakan sebelum dunia dilanda krisis energi pada tahun 1973 (Stein, 1997). Sistem CAV menggunakan saluran udara (duct) tunggal untuk mengalirkan udara dingin ke seluruh ruangan. Untuk menyediakan kebutuhan pendinginan yang maksimal, temperatur udara diset sangat rendah; selanjutnya di setiap ruangan disediakan sistem pemanas-ulang (reheater) guna mengatur temperatur udara sesuai dengan kebutuhan. Sumber pemborosan energi pada sistem CAV disebabkan oleh tiga hal:
(1) Sangat rendahnya set temperatur udara dingin untuk seluruh ruangan,
(2) Energi yang diperlukan untuk memanaskan ulang udara yang memasuki ruangan, dan
(3) Energi yang diperlukan oleh fan elektrik dan efeknya terhadap udara dingin (fan elektrik memberikan beban panas pada udara dingin).
Sistem VAV melakukan pengaturan volume udara yang disuplai ke setiap ruang secara otomatis. Volume udara yang masuk ke setiap ruang disesuaikan dengan besarnya beban pendinginan (cooling load) yang ada di masing-masing ruangan. Sebuah kotak pengontrol yang bekerja berdasarkan informasi temperatur ruangan (thermostatically-control box) mengatur
volume udara yang masuk ke dalam ruangan disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan demikian, sistem VAV mengalirkan udara pendingin sesuai dengan kebutuhan ruangan; berbeda dengan sistem CAV yang mensuplai pendinginan maksimal dan seragam untuk kemudian dipanaskan ulang di sebagian ruangan. Kampus National Institute of Education Singapura baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari ASHRAE (American Society of Heating, Refrigeration, and Air Conditioning Engineers) berkenaan dengan penghematan energi pada kampus tersebut yang salah satunya merupakan hasil penerapan sistem VAV (ASHRAE, 2006).
B. Mesin refrigerasi dengan pendingin air
Air memiliki kapasitas termal yang lebih tinggi dibandingkan dengan udara; salah satunya karena densitas air lebih tinggi daripada udara. Ini berarti untuk volume yang sama, air mampu mentransportasikan panas lebih besar dibandingkan dengan udara. Apalagi temperatur air umumnya lebih rendah dibandingkan udara. Kedua keuntungan tersebut bisa meningkatkan efisiensi mesin pendingin bila air dipergunakan sebagai pendingin kondensor. Yik dkk (2001) mengungkapkan bahwa di Hongkong, mesin refrigerasi yang menggunakan pendingin udara memiliki COP (Coefficient of Performance) sebesar 2.6 – 2.9; sedangkan mesin yang menggunakan pendingin air bisa memiliki COP hingga 4 – 5.
Menara pendingin (cooling tower) adalah alat yang umum digunakan untuk mendinginkan air yang telah digunakan pada pendinginan kondensor. Sentuhan air dan udara serta evaporasi air di dalam menara pendingin akan menurunkan temperatur air yang selanjutnya kembali disirkulasikan ke kondensor mesin refrigerasi. Air penambah (make up water) digunakan untuk mengganti sejumlah air yang menguap selama proses pendinginan di dalam menara pendingin. Selain menggunakan menara pendingin, kondensor mesin refrigerasi bisa juga didinginkan menggunakan air dari sungai, danau, ataupun laut. Yik dkk (2001) memprediksikan dari perhitungannya bahwa pendinginan menggunakan air laut secara langsung pada kondensor akan meningkatkan COP mesin refrigerasi dibandingkan menggunakan menara pendingin.
C. Refrigerasi tak langsung (indirect refrigeration)
Pada sistem ini, panas yang didapat dari beban pendinginan dipindahkan ke fluida sekunder (secondary fluid). Fluida ini selanjutnya akan mempertukarkan panasnya melalui penukar kalor yang menghubungkannya dengan refrigeran di mesin refrigerasi. Beberapa peneliti (Kruse, 2000; Dunn, 2005) mengemukakan bahwa sistem tak langsung mengkonsumsi lebih banyak energi dibandingkan dengan sistem langsung (direct expansion – DX). Hal ini disebabkan karena energi tambahan yang diperlukan guna mensirkulasikan fluida sekunder dan lebih rendahnya temperatur evaporator pada mesin refrigerasi akibat pertukaran panas yang tidak langsung. Pada beberapa aplikasi sistem tak langsung, pemanas ulang (reheater) dipergunakan untuk menyesuaikan temperatur udara dengan kebutuhan; hal ini turut menyumbang besarnya konsumsi energi refrigerasi sistem tak langsung (Dunn, 2005). Skema sistem refrigerasi tak langsung bisa dilihat di Gambar 3.
Dapat dilihat di Gambar 3, fluida sekunder akan mempertukarkan panasnya dengan refrigeran di dalam evaporator. Fluida sekunder selanjutnya akan mengalir menuju Fan Coil Units (FCUs) yang berfungsi untuk mengkondisikan udara di setiap ruangan. Pompa diperlukan untuk mengalirkan fluida sekunder dari FCUs ke mesin refrigerasi dan sebaliknya. Selain menggunakan FCUs, fluida sekunder bisa juga dipergunakan untuk mendinginkan udara di Air Handling Unit (AHU) untuk selanjutnya udara dingin dari AHU ditransportasikan ke setiap ruangan menggunakan saluran udara (duct). Namun perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kerugian dalam transportasi udara dingin dibandingkan dengan cairan dingin. Hal ini akan dibahas pada sub-bab selanjutnya.
Gambar 3 Sistem refrigerasi tak langsung
Dibandingkan dengan sistem DX, refrigerasi tak langsung memerlukan jumlah refrigeran yang jauh lebih kecil. Sebagai contoh, bila untuk mengatasi beban pendinginan pada rata-rata supermarket, sistem DX memerlukan refrigeran sebanyak 500 – 1,000 kg, maka sistem refrigerasi tak langsung bisa bekerja hanya dengan 25 – 50 kg refrigeran. Transportasi energi pada loop sekunder bisa menggunakan berbagai fluida yang tidak berbahaya bagi lingkungan, seperti air. Dengan demikian, sistem refrigerasi tak langsung memiliki total equivalent warming impact (TEWI) yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sistem DX (Kruse, 2000). TEWI merupakan penjumlahan warming impact akibat emisi refrigeran dan pembangkitan energi untuk menjalankan sistem refrigeasi. Menilik karakteristiknya, sistem tak langsung ini cocok dipergunakan untuk mesin refrigerasi yang menggunakan refrigeran ammonia dan hidrokarbon – yang masing-masing karena sifat racun (toxicity) dan keterbakarannya (flammability) menjadikan kedua jenis refrigeran alami (natural) tersebut belum dipergunakan secara luas di ruang publik (public space). Dengan menggunakan sistem tak langsung, refrigeran ammonia atau hidrokarbon hanya disirkulasikan pada mesin refrigerasi utama, sedangkan fluida sekunder yang aman, seperti air atau sluri es, akan mendinginkan udara di setiap ruangan.
Sistem Hidronik
Sistem hidronik adalah jenis refrigerasi tak langsung yang fluida sekundernya (cairan) ditransportasikan hingga mencapai koil pendingin di setiap ruangan. Hal ini berbeda dengan sistem transportasi udara yang menggunakan AHU. Pada sistem CAV, misalnya, udara yand telah dikondisikan dialirkan melalui saluran udara (duct) dengan bantuan fan elektrik. Kerja yang dilakukan fan elektrik terhadap udara dingin ini sebenarnya memberikan beban panas. Usibelli dkk (Feutsel dan Stetiu, 1995) menyatakan bahwa panas dari fan elektrik bisa berkontribusi terhadap beban pendinginan (cooling load) sebesar 13% untuk gedung-gedung Los Angeles pada umumnya. Pada all-air system, udara dingin berfungsi sebagai pendingin sekaligus ventilasi. Pada sistem hidronik, fungsi pendinginan dijalankan oleh fluida sekunder, yakni cairan yang mengalir melalui FCUs, sedangkan fungsi ventilasi dijalankan oleh sistem suplai udara yang terpisah.
Terdapat dua jenis sistem hidronik, yakni konveksi dan radiasi. Pada sistem konveksi, fluida sekunder dialirkan ke dalam penukar kalor / FCUs yang selanjutnya mempertukarkan kalor dengan udara yang dialirkan melalui FCUs. Sedangkan pada sistem radiasi, pertukaran kalor antara koil pendingin dengan udara berlangsung secara radiasi. Pada sistem ini, koil yang memuat fluida sekunder bisa ditanam di langit-langit ataupun di dalam dinding. Penggunaan sistem radiasi di Eropa membuktikan bahwa sistem ini mampu mengatasi beban pendinginan yang tinggi sekaligus menyediakan kenyamanan termal yang baik (Behne, 1999). Feustel dan Stetiu (1995) memperkirakan bahwa sistem hidronik-radiasi mampu menghemat energi hingga 40% dibandingkan dengan sistem CAV. Sistem hidronik juga menghemat ruang cukup signifikan karena kecilnya volume pipa fluida sekunder (cairan) bila dibandingkan dengan saluran udara (duct).
Transportasi Panas Laten (Latent Heat Transportation)
Selain menggunakan fluida fasa tunggal (single-phase fluid), saat ini sudah digunakan pula zat yang berubah fasa (phase-change material – PCM) sebagai fluida sekunder pada sistem refrigerasi tak langsung. Inaba (2000) menekankan bahwa sistem transportasi panas laten bisa menekan ukuran pipa yang dipergunakan untuk mentransportasikan fluida sekunder, mengurangi kehilangan panas (heat loss), meningkatkan kapasitas termal, dan meningkatkan performansi penukar kalor. Sluri es (ice slurry) merupakan PCM yang banyak dipergunakan saat ini. Egolf dan Kauffeld (2005) menjelaskan keuntungan penggunaan sluri es dibandingkan fluida fasa tunggal sebagai berikut: (a) Sluri es memiliki sifat transport yang lebih baik di dalam pipa dan penukar kalor; kapasitas termal sluri es 8 kali lebih tinggi dibandingkan fluida fasa tunggal, (b) Diameter pipa untuk transportasi sluri es lebih kecil hingga 50%, demikian pula kecepatan alir sluri es juga bisa ditekan hingga 50%, (c) Energi pemompaan yang diperlukan untuk mengalirkan sluri es hanya sekitar 1/8 dari energi pemompaan fluida fasa tunggal, dan (d) Koefisien perpindahan panas sluri es di dalam penukar kalor meningkat 50 – 100% dibandingkan dengan fluida fasa tunggal.
Dengan menggunakan CTES (Cold Thermal Energy Storage) beban listrik untuk mesin refrigerasi bisa digeser dari periode puncak (pada saat hampir semua orang menghidupkan mesin AC) ke off peak period (misalnya malam hari). Hal ini dimungkinkan karena produksi sluri es bisa dilakukan pada malam hari untuk kemudian dipergunakan pada siang hari – pada saat diperlukan untuk mengatasi beban pendinginan ruangan. Skema semacam ini sangat menguntungkan untuk diterapkan di berbagai wilayah yang sudah mengenakan tarif listrik berdasarkan periode penggunaan (tarif siang lebih tinggi daripada malam). Saat ini sudah tersedia beberapa teknologi untuk mengontrol ukuran partikel es, misalnya dengan menggunakan sejumlah kecil aditif yang bisa menghentikan pertumbuhan partikel es seperti anti freeze protein (Grandum dkk, 1999), silane coupling agent (Inada dkk, 2000), dan surfaktan (Usui dkk, 2004).
Salah satu problem penggunaan sluri es adalah rendahnya temperatur evaporator di mesin refrigerasi yang diperlukan guna memproduksi sluri es. Hal ini menyebabkan penurunan performansi (COP) mesin refrigerasi. Terlebih lagi bila terjadi fenomena supercooling (terlambat mengkristal) pada sluri es, maka COP mesin refrigerasi bisa lebih rendah. Oleh karena itu Saito (2002) menyarankan para peneliti di bidang ini untuk mencari PCM lain yang memiliki temperatur kristalisasi lebih tinggi dibandingkan dengan es. Indartono dkk (2006), misalnya, telah meneliti sejenis sluri hidrat (hydrate slurry) yang memiliki temperatur kristalisasi sekitar 10oC; dan disimpulkan bahwa sluri ini cocok diaplikasikan dalam sistem refrigerasi tak langsung. Temperatur kristalisasi sluri hidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan sluri es berkonsekuensi pada lebih tingginya COP mesin refrigerasi yang memproduksi sluri hidrat dibandingkan dengan sluri es.
D. Pendinginan Sistem Distrik
Berdasarkan cakupan wilayahnya, sistem pendingin bisa dibagi menjadi tiga bagian: (1) Sistem tunggal, (2) Sistem terpusat, dan (3) Sistem distrik. Skema ketiga jenis sistem pendingin tersebut bisa dilihat di Gambar 4 berikut ini:
Gambar 4 Skema sistem pendingin berdasarkan cakupan wilayahnya: (a) Sistem tunggal, (b) Sistem terpusat, dan (c) Sistem distrik
Pada sistem tunggal, satu mesin refrigerasi bisa melayani kebutuhan pendinginan untuk satu atau beberapa ruang. Kapasitas pendinginan pada sistem ini bervariasi mulai dari 2.7 – 5.5 kW. Perusahaan pembuat mesin pendingin juga menyediakan mesin refrigerasi yang memiliki outlet khusus untuk beberapa ruangan, dengan kapasitas pendinginan total 5 – 10 kW. Untuk sistem split, mesin pendingin ini terdiri dari dua bagian yang terhubung; unit indoor dan outdoor. Kompresor ditempatkan di luar ruangan (outdoor) guna menghindarkan gangguan kebisingan (noise disturbance). Sistem tunggal semacam ini menggunakan sistem DX, dalam artian tidak terdapat fluida sekunder yang menghubungkan mesin refrigerasi dan unit terminal (FCUs misalnya). Sistem ini cocok diterapkan untuk kebutuhan rumah tinggal, perkantoran dan pertokoan skala kecil. Dengan menggunakan 4-way reversing valve, mesin refrigerasi ini bisa mensuplai udara hangat di musim dingin.
Pada refrigerasi sistem terpusat (central system), satu atau beberapa mesin refrigerasi yang terletak di satu lokasi melayani kebutuhan pendinginan untuk satu gedung perkantoran, pertokoan, pusat bisnis, dsb. Daya pendinginan per unit pada sistem ini berkisar antara 5 – 48 HP (Horse Power). Untuk memenuhi kebutuhan pendinginan pada area yang luas, sistem ini lebih hemat energi bila dibandingkan dengan penggunaan sistem tunggal. Sistem refrigerasi terpusat bisa menggunakan sistem DX ataupun refrigerasi tak langsung dengan fluida sekunder. Sistem DX berarti refrigeran langsung mengambil beban kalor dari setiap ruangan dan membuangnya di kondensor mesin refrigerasi. Cara ini melibatkan penggunaan refrigeran yang cukup besar, misalnya 500 kg – 1,000 kg untuk satu supermarket dengan ukuran standard. Sistem ini juga memerlukan tekanan operasi yang cukup tinggi, bisa mencapai 30 bar.
Sistem refrigerasi tak langsung bisa digunakan pada sistem terpusat. Refrigeran hanya bersirkulasi terbatas pada mesin refrigerasi, sedangkan tugas mentransportasikan kalor dari setiap ruangan dilakukan oleh fluida sekunder. Fluida sekunder selanjutnya akan mempertukarkan kalornya dengan refrigeran di evaporator. Dengan demikian, untuk beban pendinginan yang sama, chiller pada sistem refrigerasi tak langsung memerlukan refrigeran dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sistem DX. Namun demikian, sistem tak langsung semacam ini berkonsekuensi pada hilangnya sebagian ketersediaan energi (exergy) akibat pertukaran kalor di evaporator. Mesin refrigerasi pada sistem tak langsung juga harus beroperasi pada temperatur yang lebih rendah; hal ini bisa menyebabkan penurunan COP. Oleh karena itu, beberapa perbaikan tambahan perlu dilakukan pada sistem ini untuk menghasilkan performansi akhir yang lebih baik. Pendinginan kondensor refrigerasi terpusat bisa dilakukan dengan udara (air cooled) ataupun air (water cooled). Menara pendingin (cooling tower) umumnya digunakan untuk sistem pendinginan kondensor yang menggunakan air.
Pada sistem distrik, satu pabrik pendingin (cooling plant) melayani kebutuhan pendinginan untuk beberapa gedung, satu komplek besar universitas, hingga satu kota. Tentu saja pendinginan sistem distrik harus menggunakan sistem refrigerasi tak langsung mengingat luasnya cakupan daerah yang harus dilayani. Pabrik pendingin menghasilkan fluida sekunder yang dialirkan ke setiap gedung dan ruang untuk mengambil beban kalor. Keuntungan sistem distrik dibandingkan dengan sistem lainnya (tunggal ataupun terpusat) diantaranya (Chow dkk, 2004): (1) Konsumen mendapatkan tambahan ruang bebas (free space) karena mereka tidak memerlukan ruang mesin pendingin di gedung mereka, (2) Lebih hemat energi dibandingkan dengan pemasangan chiller di setiap gedung, (3) Fleksibel dalam menggunakan kombinasi berbagai jenis teknologi pendinginan, misalnya penggunaan sluri es dan penyimpanannya (thermal storage), serta penggunaan sistem kombinasi bersama pembangkit listrik dan produksi air panas.
Skema distribusi fluida sekunder dari pabrik pendingin ke setiap gedung umumnya terbagi menjadi tiga jenis:
1. Terhubung langsung. Fluida sekunder dari pabrik pendingin langsung mengalir ke setiap gedung dan setiap ruang di dalam gedung tersebut. Untuk mengatur laju aliran, bisa digunakan pompa penguat (booster pump) atau pengatur tekanan (pressure regulator). Sistem ini sederhana karena tidak memerlukan pengontrolan yang rumit.
2. Semi terpisah. Fluida sekunder akan terus bersirkulasi di dalam gedung hingga kondisi final yang diharapkan pada fluida tesebut tercapai. Fluida sekunder baru dari pabrik pendingin berfungsi untuk menambah atau menggantikan fluida lama yang sudah mencapai kondisi final. Kontrol temperatur biasanya diterapkan untuk memutuskan saat penambahan atau penggantian fluida sekunder.
3. Terpisah. Aliran fluida antara pabrik pendingin dan gedung dipisahkan oleh sebuah penukar kalor. Jenis ini mengindikasikan digunakannya fluida tersier di dalam gedung. Dari sisi tekanan alir yang harus disediakan oleh pabrik pendingin, sistem ini menguntungkan karena tidak memerlukan tekanan setinggi pada jenis (1) dan (2). Namun kelemahan utama sistem ini adalah terjadinya kehilangan ketersediaan energi akibat pertukaran kalor di penukar kalor.
Sistem distrik juga merupakan sistem yang paling memungkinkan untuk digunakan dalam sistem kombinasi bersama sistem yang lain, misalnya sistem pembangkit listrik dan penyedia air panas. Lin dkk (2001) meneliti penggunaan Combined Heating Cooling and Power (CHCP) di Beijing. Pada CHCP tersebut, air panas yang dihasilkan dari sistem co-generating (power and heating) disirkulasikan melalui jaringan pipa antara pabrik CHCP dan stasiun-stasiun pemanas. Saat musim panas, energi termal dari air panas tersebut dipergunakan untuk menggerakkan refrigerasi absorbsi dan menghasilkan pendinginan, sedangkan pada musim dingin air panas tersebut akan langsung menghasilkan pemanasan udara; selain itu sistem ini menyediakan suplai air panas untuk rumah tangga sepanjang tahun. Shinjuku District Heating and Cooling System di Jepang memiliki daya pendinginan hingga 200 MW. Sistem ini menggunakan refrigerasi absorbsi yang mendapatkan energi termalnya dari exhaust gas sistem pembangkit listrik dan air panas. Sistem pembangkit listrik tersebut menggunakan gas sebagai sumber energinya. Air dingin yang dihasilkan dari refrigerasi absorbsi dialirkan ke beberapa gedung untuk memenuhi kebutuhan pendinginan. Tokyo Gas sebagai operator Shinjuku District Heating and Cooling System mengklaim bahwa mereka berhasil menghemat 20% energi bila dibandingkan dengan sistem pendingin konvensional/individual (Tokya Gas, 2000).